ول
الله تعالى : يابنَ آدمَ ! كَمْ مِن سِرَاجٍ قَدْ أَطْفَأَتْهُ رِيْحُ
الهَوَى وَكَمْ مِنْ عابدٍ قَدْ أَفْسَدَهُ العُجْبُ وكم من غنيٍّ
أَفْسَدَهُ الغِنَاءُ وكم من فقيرٍ أَفْسَدَهُ الفَقْرُ وكم من صَحِيْحٍ
أَفْسَدَتْهُ العَافِيَةُ وكم من عالِمٍ أَفْسَدَهُ العِلْمُ وكم من جاهلٍ
أَفْسَدَهُ الجهلُ, فَلَولاَ مَشَايِخُ رُكَّعٌ وشَبَابٌ خُشَّعٌ وأطفالٌ
رُضَّعٌ وبَهَائِمُ رُتَّعٌ لَجَعَلْتُ السَّمَاءَ مِن فوقكم حَدِيداً
والأرضَ صَفْصَفًا والتُّرَابَ رَمَاداً ولَمَا أَنْزَلْتُ عليكم من
السّماء قَطْرَةً وَلَمَا أَنْبَتْتُ فى الأرض من حبَّةٍ ولَصَبَبْتُ عليكم
العذابَ صبًّا (المواعظ في الأحاديث القدسية للإمام الغزالى)
Allah Ta’ala berfirman :
Wahai manusia ! Betapa banyak lampu yang padam oleh hembusan angin.
Betapa banyak orang yang ahli ibadah celaka karena kesombongannya.
Betapa banyak orang yang kaya celaka karena kekayaannya. Betapa banyak
orang yang miskin celaka karena kefakirannya. Betapa banyak orang yang
sehat celaka karena kesehatannya. Betapa banyak orang yang berilmu
celaka karena keilmuannya. Betapa banyak orang yang bodoh celaka karena
kebodohannya. Andaikata tidak ada orang-orang tua yang selalu ruku’,
pemuda-pemuda yang khusyu’, anak-anak kecil yang menetek, dan
binatang-binatang ternak yang berkeliaran mencari rerumputan, niscaya
Aku akan mengubah langit menjadi besi, bumi menjadi batu licin yang
kering kerontang dan debu menjadi kerikil. Setetes pun tidak akan pernah
Aku turunkan air hujan dari langit, dan tak sebutir biji pun akan
Kutumbuhkan di bumi. Dan sungguh akan Kucurahkan siksa kepadamu.
(Hadits
Qudsi diambilkan dari kitab “al-Mawā’id fi al-Ahādīts al-Qudsiyyah, karya Imam Ghazali)
Petik HIkmah - Kandungan Hadits
Qudsi di atas sangat jelas. Meskipun dalam beberapa literatur dari
kitab-kitab kumpulan hadits-hadits jarang dicantumkan, kecuali oleh Imam
Ghazali sendiri. Hadits Qudsi di atas sesungguhnya ingin menggambarkan
betapa porak-porandanya kehidupan dunia ini akibat ulah manusia. Ada
isyarat yang jelas bahwa amat banyak hal yang telah dikaruniakan Allah
S.w.t kepada manusia dalam kehidupan ini tidak dapat dimanfaatkan dengan
baik, bahkan cenderung diekspoitir dan disalahgunakan. Maka, celakalah
orang-orang yang tidak menyadari akan ni’mat Allah dalam dirinya!
Memang betul, bahwa
Allah S.w.t senantiasa memerintahkan kita untuk selalu beribadah
kepada-Nya, dimana dan kapanpun kita berada. Tetapi, ibadah yang
dikehendaki oleh-Nya adalah bentuk ibadah yang didasari oleh ketulusan
dan sikap ikhlas: tidak mengharap apa-apa kecuali hanya ridha-Nya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
(Lihat: Q, s. ad-Dzāriyāt/51:56)
(Q, s. al-Bayyinah/98:5)
Ibadah adalah
untuk kepentingan kita secara individu-individu, bukan untuk kepentingan
Tuhan. Tuhan Allah adalah Maha segalanya, tidak membutuhkan apa-apa,
termasuk tidak pula membutuhkan ketaatan kita. “Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya” (Q, s. Yūnus/10:99) Ini
menegaskan bahwa masalah iman bukan urusan Tuhan: beriman atau tidak
sepenuhnya diserahkan kepada pilihan dan tanggungjawab manusia. “Dan
katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka”.
(Lihat: Q, s. al-Kahfi/19:29)
Banyak diantara
kita yang tidak kuat untuk tetap tawadhu’ dalam ibadahnya. Banyak yang
merasa bahwa dirinya telah “berbuat banyak untuk Tuhan” dan menganggap
bahwa dirinyalah yang paling rajin “menyambangi”-Nya di malam hari di
malam gelap gulita dimana orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya.
Perasaan seperti itu boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah
menyombongkan diri, apalagi kalau ternyata siang harinya tidak ada
tindakan apa-apa untuk kepentingan orang lain. Beribadahlah yang tekun,
khusyu’ dan penuh harap kepada Allah, dan cukuplah baginya Dia Yang Maha
Tahu dan Maha Mendengar. Orang yang pamrih dalam ibadah adalah ungkapan
bahwa ia sebetulnya tidak terlalu percaya bahwa Allah akan
memperhitungkan amal ibadahnya. Maka, “betapa banyak orang yang ahli ibadah celaka karena kesombongannya” !
Betapa banyak
pula orang kaya yang celaka karena kekayaannya. Karena banyak orang kaya
yang ternyata tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya itu. Yang
tidak penting menjadi dipenting-pentingkan, yang tidak perlu mendadak
diperlu-perlukan, yang tidak ada diada-adakan, bahkan yang wajib menjadi
sunnah, yang sunnah menjadi mubah, yang mubah malah menjadi wajib.
Ketahuilah bahwa ketika seseorang menjadi kaya, maka hal itu hanya untuk
mengukur sejauh mana kepekaannya kepada penderitaan orang lain.
Menjadi kaya itu tidak
dilarang, malah Al-Qur’an justru menganjurkan kaum muslimin agar tidak
jatuh miskin. Tidak ada batasan seberapa besar kekayaan yang boleh
ditimbun oleh seorang muslim. Silahkan, himpun kekayaan
sebanyak-banyaknya, asal ketika telah terhimpun sebagiannya harus segera
didistribusikan, digunakan untuk mensejahterakan lingkungannya
masing-masing, agar kekayaan itu tidak hanya beredar di lingkungan
orang-orang kaya saja. Al-Qur’an pernah menyinggung masalah ini dalam
sebuah ayatnya:
Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu…
(Q, s. al-Hasyr/59:7)
Dalam pandangan
Islam, orang disebut kaya adalah ketika ia mampu mensejahterakan
lingkungannya. Orang kaya yang tidak peduli dengan lingkungannya, pada
hakekatnya adalah orang miskin.
Banyak orang kaya
yang membuat jarak dengan masyarakat sekitarnya, bahkan membangun sekat
tebal agar dirinya tidak tersentuh oleh tangan orang-orang miskin.
Orang kaya tanpa orang miskin, sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Sukses
berbisnis dengan pabrik besar yang menyerap ribuan tenaga kerja, harus
disadari bahwa itu merupakan sumbangan orang-orang miskin. Tanpa mereka,
maka pabrik besar seperti apapun tidak akan mampu memproduksi barang.
Kita menilai seseorang sebagai orang yang kaya, hal itu karena kita
membandingkannya dengan orang lain yang berada di bawahnya.
Ciri orang miskin umumnya adalah
tamak, punya satu ingin dua, dikasih dua minta tiga, sudah dapat tiga
masih saja berpikir bagaimana caranya mendapatkan yang keempat, ketika
sudah dapat empat digenggamnya erat-erat. Miskin dan
kaya, dalam banyak literatur Islam, selain ditentukan oleh nilai nominal
harta yang dimiliki, juga diukur dari tingkat kepuasaan batin seseorang
terhadap sesuatu hal yang dimilikinya. Maka, orang kaya yang tamak,
pada hakekatnya adalah masih miskin.
Tidak saja orang
kaya, orang miskin yang celaka karena kefakirannya juga banyak. Bahkan,
di negeri ini ternyata banyak orang yang justru ingin dianggap miskin.
Sebuah penelitian untuk tesis magister di salah satu perguruan tinggi
negeri di Yogyakarta, mengungkapkan
bahwa para peminta di jalan-jalan raya yang umumnya terdiri dari
anak-anak dan perempuan, setelah diselidiki ternyata adalah orang-orang
yang mampu secara ekonomi. Di rumahnya mereka memiliki barang-barang
yang umumnya dimiliki orang kaya, dari televisi berwarna, sepeda motor,
kulkas, mesin cuci, dan perabot-perabot lain, bahkan rumah mereka juga
berlantaikan keramik. Mereka bukan pegawai negeri atau pengusaha,
melainkan mereka adalah para pengemis jalanan.
Bagi mereka,
menjadi pengemis sama sekali bukan karena takdir, tapi lebih sebagai
profesi. Mereka betul-betul profesional! Ketika diminta untuk berhenti
dari pekerjaannya sebagai pengemis dan akan diberi bekal ketrampilan
untuk meniti usaha secara mandiri, mereka menolak karena dengan
profesinya itu rata-rata per hari mereka dapat membawa pulang sekitar
Rp. 50.000 – Rp. 70.000: nominal yang setaraf dengan pegawai negeri
golongan III C.
Umat Islam sering
dibuat bingung, antara memberi atau tidak memberi. Mereka miskin tapi
kaya, atau kaya tapi miskin. Dalam Islam, orang miskin harus ditolong,
dibantu dan diringankan bebannya. Tapi terhadap orang yang pura-pura
miskin, tentu saja tidak ada kewajiban untuk menolongnya.
Bahwa kemiskinan
harus disyukuri adalah anjuran Islam, tetapi mensyukurinya bukan dengan
cara lari dari ajaran agama. Justru dengan kemiskinannya itu orang
dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah
menjauhkan diri. Kemiskinan yang melekat pada dirinya malah diekspoitir
dan digunakan sebagai dalih yang membenarkan seluruh tindakannya.
Bagaimana pun miskinnya, orang tetap tidak diperkenankan mencuri atau
menipu.
Banyak pula orang
bodoh yang celaka karena kebodohannya, begitu pula orang yang berilmu
yang celaka karena keilmuannya, dan orang sehat yang celaka karena
kesehatannya. Ketika sehat, tidak ingat apa-apa, semua larangan
diterjang dan semua perintah diabaikan, giliran jatuh sakit baru
berpikir untuk bertobat. Maka selagi masih sehat, gunakanlah kesehatan
itu untuk hal-hal yang baik. Demikian pula dengan ilmu, manfaatkanlah
untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Allah menganugerahkan ilmu
pengetahuan kepada kita dengan tujuan untuk ikut memakmurkan bumi, bukan
malah merusaknya.
Itulah fenomena yang
ada di hadapan kita saat ini. Ternyata di Republik ini banyak orang yang
sakit jiwa, karena tidak lagi dapat menempatkan dirinya dengan benar.
Negeri ini rasanya penuh dengan orang-orang yang berdusta. Itu pula yang
digambarkan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah:
Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu semakin parah; dan mereka
pasti mendapat siksa yang menyakitkan karena kedustaan mereka itu.
(Q,
s. al-Baqarah/2:10)
Tuhan nampaknya marah
besar kepada para hamba-Nya yang tidak tahu diri, dan tidak mau
bersyukur atas apa yang telah dilimpahkan oleh-Nya di dunia ini. Bencana
dan musibah yang menimpa negeri ini secara bertubi-tubi, mungkin saja
disebabkan oleh kealpaan kita semua untuk bersyukur dan kembali ke
jalan-Nya. Ketahuilah bahwa andai saja kita mau bersyukur, niscaya Allah
tidak akan menurunkan adzab-Nya. “Dan (ingatlah juga), takala
Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(Q, s. Ibrāhim/14:7)
Allah sama sekali tidak
akan menyiksamu kalau sekiranya kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha
Berterimakasih lagi Maha Tahu.
(Q, s. an-Nisā’/4:147)
Maka, memperhatikan
fenomena seperti tergambar di atas, bangsa ini rasanya patut
berterimakasih kepada orang-orang tua yang saleh dan tekun beribadah,
pemuda-pemuda yang khusyu’, anak-anak yang menetek ibunya, dan
binatang-binatang yang mencari makan, sebab andaikata tanpa kehadiran
mereka niscaya perahu negeri ini sudah tenggelam dan hancur. Mulai
sekarang, belajarlah untuk menghormati orang-orang tua yang istiqamah,
anak-anak muda yang saleh, termasuk dengan cara menyayangi para balita
dan binatang-binatang.
(Q, s. al-An’ām/6:15)
0 on: "Kriteria Orang yang Celaka "