:: Puspen TNI Resmi Tanggapi Iwan Bopeng, Perbuatannya Dilakukan Tidak Hanya di Satu TPS || Posting Bantuan Banjir, Fanspage DivHumasPolri Diserbu Komentar Miring || Prof. Yusril: Mudah-Mudahan Keterangan Saya Bisa Hentikan Kasus Habib Rizieq Petik Hikmah 2017 :: Anggapan Bahwa Berpikir Secara Mendalam Tidaklah Baik - Petik Hikmah

Ads

Theme images by Storman. Powered by Blogger.

Comments

Facebook

Blog Archive

Elegant Themes

Ad Home

Breaking News

Design

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Featured
Most Popular

Lorem

Lorem Ipsum

Beauty

Lorem Ipsum

About This Blog

Follow us on facebook

Featured

About Me

Business

Advertisement

Follow Us

Sponsor

Popular Posts

Services

Featured Video

I Am The Author

Monday, January 23, 2017

Anggapan Bahwa Berpikir Secara Mendalam Tidaklah Baik



Petik Hikmah - Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan satu sama lain dengan mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda akan kehilangan akal". Sungguh ini tidak lain hanyalah omong kosong yang didengung-dengungkan oleh mereka yang jauh dari agama. Yang seharusnya dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi memikirkan keburukan; atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan atau angan-angan kosong. Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan bermanfaat, akan tetapi hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak bermanfaatlah yang pada akhirnya muncul dari perenungan mereka. Mereka berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia adalah sementara, dan bahwa mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini menjadikan mereka putus harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani kehidupan tanpa mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di akhirat. 

     Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa mereka akan lenyap sama sekali setelah mati. Orang yang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memiliki pola pikir yang sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras yang sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat sangat tenang. 

      Tak satupun peristiwa yang menimpanya dalam kehidupan yang sementara ini membuatnya marah. Dengan ceria ia selalu berpikir tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan dunia. Allah telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam kehidupan di dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian banyak kenikmatan untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat tak terbayangkan lagi keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat keindahan yang hakiki di akhirat. Dan ia memahami semua hal tersebut setelah berpikir secara mendalam.

      Berlepas diri dari tanggung jawab melaksanakan apa yang diperoleh dari berpikir
Kebanyakan manusia beranggapan bahwa mereka dapat mengelak dari berbagai macam tanggung jawab dengan menghindarkan diri dari berpikir, dan mengalihkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan melakukan yang demikian di dunia, mereka berhasil melepaskan diri mereka sendiri dari beragam masalah. Satu diantara banyak hal yang sangat menipu manusia adalah anggapan bahwa mereka akan dapat membebaskan diri dari kewajiban mereka kepada Allah dengan cara tidak berpikir. Inilah sebab utama yang membuat mereka tidak berpikir tentang kematian dan kehidupan setelahnya. 


      Jika seseorang berpikir bahwa ia suatu hari akan mati dan selalu ingat bahwa ada kehidupan abadi setelah mati, maka ia wajib bekerja keras untuk kehidupannya setelah mati. Tetapi ia telah menipu dirinya sendiri ketika berkeyakinan bahwa kewajiban tersebut akan lepas dengan sendirinya ketika ia tidak berpikir tentang keberadaan akhirat. Ini adalah kekeliruan yang sangat besar, dan jika seseorang tidak mendapatkan kebenaran di dunia dengan berpikir, maka setelah kematiannya ia baru akan menyadari bahwa tidak ada jalan keluar baginya untuk meloloskan diri.

"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman." 

(QS. Qaaf, 50: 19-20)

      Tidak berpikir akibat terlenakan oleh kehidupan sehari-hari
Kebanyakan manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam "ketergesa-gesaan". Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan menanggung hidup diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini sebagai sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi untuk hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa larut oleh arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka. Dengan demikian, mereka menjadi tidak peka lagi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar. Namun, tidak sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar menghabiskan waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya. Tidak ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang, bekerja, belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu manusia perlu melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti senantiasa ada dalam benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu kesadaran akan keberadaan manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk bekerja demi mencari ridha, kasih sayang dan surga Allah. 


      Segala perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan tersebut hanyalah berfungsi sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih tujuan yang sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada manusia.Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali menjadikan sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan contoh-contoh lain yang serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: tidak dapat diragukan bahwa bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang bermanfaat untuk masyarakat adalah perbuatan baik. Seseorang yang beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan tersebut dengan bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi agar dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia telah melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya, yakni mencari ridha Allah. Ketika menemukan realitas yang sebenarnya di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena telah melakukan hal yang demikian. Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia sebagaimana berikut:

"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." 

(QS. At-Taubah, 9: 69).

0 on: "Anggapan Bahwa Berpikir Secara Mendalam Tidaklah Baik"