Petik Hikmah - Secara
umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis,
berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu.
Hakeem Hameed mengartikan tauhid
sebagai sebuah kepercayaan ritualistik dan perilaku seremonial yang
mengajak manusia menyembah realitas hakiki (Allah); dan menerima segala
pesan-Nya yang disampaikan lewat kitab- kitab suci dan para Nabi untuk
diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang, serta menjaga diri dari
perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi mengerjakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya.1
Tauhid menurut Abu al-A’la
al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang muslim, kalimat pembeda
seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik. Sebuah
perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan
meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya
dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi. 2
Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah. Keyakinan
ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud,
penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan,
merasa takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid
menghendaki agar seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya
hanya kepada Allah.3
Maka nampak bahwa secara umum,
tauhid lebih sering diartikan dengan teoantroposentris; yang mana
pembahasannya masih berkutat pada pemusatan pada Allah dan bahwa manusia
mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada pembahasan secara rinci tentang
tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok yang menjadi prinsip
atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara, ekonomi, sosial,
politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang dilakukan
oleh Ismail Raji al-Faruqi.4
Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti
ajaran Islam yang mendasari berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai
dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah,
tatanegara (tata politik, sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.5
Tauhid sebagai prinsip keluarga
artinya keluarga merupakan suatu sarana mewujudkan ketentuan moral dari
Tuhan (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu pola hubungan kompleks
yang menjadi dasar pendidikan bagi anak.
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
artinya tauhid sebagai asas epistemologi dan metodologi pengetahuan.
Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia
mencapai kebenaran nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong manusia
untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.6
Nilai yang dimaksud di sini adalah
nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai sumber nilai yang
kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan menempatkannya
sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral manusia.
Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.
Dengan landasan inilah tauhid
sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia terlibat langsung dalam
kehidupan untuk mencipta perubahan sejarah menurut pola Ilahi.
Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.
Secara politis, tauhid menghendaki
agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan.
Khilafah bertanggung jawab atas ketentraman dan kesejahteraan umat.
Secara sosial ekonomi, tauhid mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama.
Tauhid sebagai prinsip estetika
artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa
kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi sehingga penanggap seni
tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai bukti atas
eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah yang
akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.7
Sebagai prinsip keluarga, tauhid
(menurut al-Faruqi) memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk
memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan
yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan
dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting), dan
sebagainya.8
Keluarga merupakan unit
pembentuk-pembangun masyarakat. Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan
adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka rasanya tepat sekali ketika
Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang
paling esensial. Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada
peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam
keluarga daripada tempat-tempat lainnya. 9
Bahkan menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah dasar pendidikan bagi anak
berikutnya. Nilai pendidikan dalam keluarga menentukan pendidikan anak
itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat.10
Hal ini terutama karena keluarga
adalah satu wadah pertama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak.11
Keluarga bertanggung jawab mengembangkan anak baik dalam hal jasmani,
akal dan rohani.12
Perkembangan ini tentu saja mesti
dilandasi dengan norma tauhid agar tidak terjadi sebuah perkembangan
yang menyeleweng dari fitrah. Untuk itu, ada dua hal pokok yang harus
ada dalam pendidikan keluarga yaitu tauhid dan akhlak. Pokok-pokok
tauhid mutlak diperlukan karena tauhid mengajarkan akan sifat dan
kekuasaan Allah sehingga melalui pendidikan tauhid akan tumbuh generasi
yang sadar akan sifat-sifat Ilahiah. Begitu pula halnya dengan akhlak
yang mengatur pola hubungan dengan masyarakat sehingga melalui
pendidikan akhlak akan tumbuh generasi yang berakhlak mulia yakni
generasi yang tindakannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah
SWT.13
Kedua aspek tersebut (tauhid dan akhlak), menjadi bahan wajib bagi pendidikan dalam keluarga.
Karena keluarga menurut Drijarkara sebagaimana dikutip Djudju Sudjana,
mengemban tanggung jawab vertikal dan horizontal. Tanggung jawab
vertikal ini diwujudkan melalui komunikasi dan dialog dengan Tuhan
sedangkan tanggung jawab horizontal dilakukan melalui komunikasi dengan
manusia termasuk dengan dirinya sendiri, masyarakat dan lebih luas lagi
dengan umat manusia secara keseluruhan.14
Bahkan tanggung jawab pendidikan ini telah dijelaskan dalam al-Quran. Sebagaimana firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….
(QS. At Tahrim: 6)15
Ayat ini turun sesaat setelah Allah
memerintahkan kepada sebagian dari istri Nabi Muhammad SAW agar
bertaubat dari kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan menjelaskan
kepada mereka bahwa Allah akan menjaga dan menolong Rasul-Nya, Allah
juga memperingatkan mereka agar tidak berkepanjangan dalam menentangnya
karena khawatir akan di-talak dan dijatuhkan kedudukannya yang mulia
sebagai ibunya kaum mukmin karena tergantikan oleh istri-istri lain dari
orang-orang yang shaleh.16
Ayat ini oleh al-Maraghi ditafsiri
sebagai seruan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya
agar dapat menjaga diri dari api neraka dengan taat pada Allah serta
mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan yang dapat menjauhkan
diri dari api neraka melalui nasehat dan pengajaran.17
Begitu halnya menurut Ibn Katsier,
ayat ini adalah seruan bagi orang- orang yang beriman untuk menjaga diri
dan keluarganya dari api neraka melalui pengajaran kepada orang-orang
yang berada di bawah tanggung jawabnya mengenai segala sesuatu yang
diwajibkan dan dilarang oleh Allah. Pendidikan ini menyangkut pula
pimpinan kepada mereka melalui dorongan agar direalisasikan dalam setiap
perbuatan serta pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat.18
Maka tanggung jawab tersebut
diwujudkan dengan pemberian perhatian dan bimbingan atas perkembangan
anak secara utuh. Baik dalam aspek jasmani, maupun rohani. Tanggung
jawab jasmani diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan, pangan,
dan ketrampilan. Sedangkan tanggung jawab rohani meliputi pemenuhan
kebutuhan jasmani dan akal dengan menaruh perhatian serius pada setiap
perkembangannya. Dan kunci dari seluruh upaya tersebut adalah dengan
terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua dan anak.
Komunikasi inilah yang terkadang
terabaikan oleh orang tua. Karena kesibukan mereka dengan masalah
keduniaan demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal saja. Belum lagi
fenomena workaholic (gila kerja) di kalangan orang tua yang tidak hanya
melanda kaum ayah saja bahkan ibu rumah tangga. Dengan alasan persamaan
jender ataupun hak berkarir di luar rumah berakibat terabainya tugas dan
kewajiban orang tua sebagai pendidik bagi anaknya.
Dengan rutinitas kerja yang cukup
menguras tenaga dan pikiran dapat membuat mereka jauh dari anak. Kondisi
ini menyebabkan anak akan mencari perhatian kepada pihak lain secara
sembarangan. Hal ini mengakibatkan pada mudahnya anak menerima pengaruh
apa saja dari lingkungan pergaulannya.
Inilah yang menjadi penyebab awal
rusaknya tingkah laku anak. Penelitian yang dilakukan oleh majalah At
tarbiyatul Qathriyah edisi 79-81 (bulan Muharram-Rajab), tahun 1407 H
(1986 M) sebagaimana dikutip oleh Khalid Syantuh dinyatakan bahwa para
ahli telah menyimpulkan bahwa penyebab rusaknya tingkah laku anak adalah
karena tidak adanya perhatian dan sikap orang tua yang meremehkan
tanggung jawab. Hal ini kemudian berpangkal pada kenyataan anak yang
sering bergantung pada para pembantu yang telah menggantikan posisi
orang tua karena kesibukan kerja mereka. Ketergantungan anak kepada para
pembantu mendominasi 80% dari perkembangannya pada tiga tahun pertama
dan 50% setelah anak berumur empat tahun. Sehingga pengaruhnya akan
menyatu pada kehidupan anak hingga jangka waktu lama.19
Hal ini menjadi satu hal yang mesti menjadi perhatian serius dari berbagai pihak atas pentingnya pendidikan akhlak.
Ketika akhlak tidak lagi menempati posisi terdepan dalam setiap
aktivitas, maka yang terjadi adalah lunturnya perikemanusiaan. Maka
pendidikan akhlak menjadi mutlak diperlukan karena akhlak adalah suatu
keniscayaan bagi setiap muslim sebab akhlak akan mempertinggi kualitas
iman seorang muslim itu sendiri serta masyarakatnya.
Tauhid sebagai inti ajaran Islam
merupakan prinsip dasar hidup; termasuk diantaranya adalah prinsip
keluarga. Tauhid sebagai prinsip keluarga berarti tauhid sebagai dasar
setiap aktifitas dan interaksi dalam keluarga.
0 on: "Pentingnya Pendidikan Tauhid Dan Akhlak Dalam Sebuah Keluarga"