foto: ilustrasi google
Batas-batas Kepatuhan Rakyat Terhadap Pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw :
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam
apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan
tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita
bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada
batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan
ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak
atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk
berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat
itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti
durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna
ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita
membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi
dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan
dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di
tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru
lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup
memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di
ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita
bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini
tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan
oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita.
Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak
jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya
itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari
pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat.
Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda
tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu
merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan
perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka
berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak
perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan
dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja
kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi).
Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila
pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta
tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya,
karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk
di hapuskan di muka bumi ini.[I/L]
0 on: "Batas-batas Kepatuhan Rakyat Terhadap Pemimpin"