مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ 
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً 
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun 
perempuan, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami karuniakan 
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan 
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka 
lakukan." [QS. An-Nahl: 97]
Petik Hikmah - Sarana paling agung yang merupakan pokok dan dasar bagi tergapainya 
hidup bahagia ialah: beriman dan beramal shalih seperti yang tercantum 
dalam firman Allah Azza wa Jalla di atas. Kepada orang yang memadukan 
antara iman dan amal shalih, Allah memberitahukan dan menjanjikan 
kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Sebabnya 
jelas. Karena, orang-orang yang beriman kepada Allah dengan iman yang 
benar lagi membuahkan amal shalih mampu memperbaiki hati, akhlak, urusan
 duniawi dan ukhrawi. Mereka memiliki prinsip-prinsip mendasar dalam 
menyambut datangnya kesenangan dan kegembiraan, ataupun datangnya 
keguncangan, kegundahan dan kesedihan.
Mereka menyambut segala hal yang menyenangkan dan menggembirakan dengan 
menerima, mensyukurinya dan mempergunakannya untuk sesuatu yang 
bermanfaat. Sedang untuk hal-hal yang menyulitkan mereka, ujian, cobaan,
 musibah atau apa lah yang dapat menibulkan rasa sedih, mereka hadapi 
atau terima dengan kesabaran dan ketulusan. Hal ini bukan berarti mereka
 hanya akan diam atau asal terima cobaan-cobaan tersebut. Akan tetapi 
mereka akan berusaha melawan dengan kekuatan kesabaran dan ketulusan 
mereka. Tentu saja mereka melakukan semua itu dengan tujuan memperoleh 
ridha Allah.
Pada akhirnya, mereka tidak akan bersedih sebab cobaan-cobaan tersebut 
jika mereka menghadapinya dengan terus-menerus berikhtiar, berdo’a, dan 
melakukan amalan-amalan yang baik seperti shalat, bertasbih dan 
lain-lain, mereka yakin bahwa Tuhan, Allah, akan segera menolong mereka 
dengan mengabulkan do’a-do’a mereka.
Allah berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ 
لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ 
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ 
Artinya: “dan Tuhan-mu berfirman, berdoalah kepadaku, niscaya akan 
Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri 
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [QS. Al-Mu’min: 60]
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “berdo’lah kamu kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan 
suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang 
melampaui batas.” [QS. Al-A’raf: 55]
Iman adalah kehidupan, begitulah kata ‘Aidh al-Qarni dalam bukunya yang 
fenomenal, La Tahzan. Sesungguhnya orang yang paling sengsara adalah 
orang yang miskin iman dan mengalami krisis iman. Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا...الاية
Artinya: “dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..,” [QS. Thaha: 124][1]
Sebaliknya bagi imannya yang kuat, kehidupan yang baik (hayatan 
thayyibah)[2] akan diberikan kepadanya. Ini, adalah janji Allah untuknya
 sebab ketulusan hatinya mencintai Rabbnya, keteguhan imannya, kerelaan 
dan kepuasannya menerima semua yang telah diberikan dari Rabb-nya 
kepadanya selama hidup di dunia berupa kebahagiaan dan cobaan.
Lalu apa dan bagaimana iman yang sempurna dan rasa puas atau biasa 
disebut dengan qana’ah itu? Bagaiman pula korelasi antara keduanya? Apa 
dampak yang akan muncul jika keduanya dipisahkan atau keduanya malah 
tidak “dipakai” sama sekali dalam kehidupan seseorang? Maka, makalah ini
 disusun untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, selain 
tentunya guna memenuhi tugas akhir semester dua untuk mata kuliah Hadits
 1, meski yang dipaparkan nantinya terdapat kesalahan, tapi setidaknya, 
untuk sementara, bisa digunakan untuk mengatasi masalah-masalah di atas.
Pengertian Iman
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman 
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi 
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak 
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan 
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, 
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati 
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam 
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang 
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Baqarah: 177]
Iman adalah pengatahuan yang telah mencapai derajat keyakinan, atau 
pengetahuan yang dibarengi dengan kepastian.[3] Yusuf Al-Qardlrawi 
berpendapat, Iman adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan 
penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh 
bagi pandangan hidup, tingkah laku, dan perbuatan pemiliknya 
sehari-hari.[4] Sedangkan menurut hadits Nabi, iman berarti membenarkan 
dengan hati, diucapkan dengan lidah, dan diamalkan dengan jasadnya.
Maka, Iman adalah pembenaran hati tentang sesuatu yang diketahui secara 
yakin dan pasti, yang dapat berpengaruh untuk pengamalan sehari-harinya.
 Iman yang ditegakkan dalam  kehidupan adalah iman yang hakiki, bukan 
iman yang sekedar formalitas. Seperti yang dijelaskan oleh ayat di atas,
 bahwa Iman yang benar dapat membawa dampak positif  untuk pemiliknya, 
sebab Iman tersebut membawanya kepada amalan-amalan yang  baik, antara 
lain: memberikan harta kepada yang membutuhkan, menunaikan shalat, zakat
 dan sebaginya. Dalam hal ini, rukun Iman adalah Iman terhadap Allah, 
hari akhir, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Nabi-Nya, dan 
keputusan-Nya. Ini juga ditegaskan  dalam hadits Nabi SAW, yang 
berbunyi:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا 
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ 
عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ 
جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ 
بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ
 بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ 
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ 
الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ 
قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ
 فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا
 بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا 
وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ 
الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ 
ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ 
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ 
فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ 
دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ 
الْإِيمَانِ
Melalui Hadits di atas, Nabi menjelaskan bahwa rukun iman ada enam. Hal 
ini bisa dilihat dari jawaban beliau untuk pertanyaan malaikat Jibril 
tentang apa itu Iman. Akan tetapi, ternyata Iman tidak bisa terlepas 
dari Islam dan Ihsan. Sebab jika dilihat, Jibril, setelah bertanya 
kepada Nabi SAW tentang Iman, lalu dilanjut dengan bertanya tentang 
Islam dan Ihsan.
Jawaban Nabi tentang Islam adalah jika kita menyembah Allah lalu tidak 
menyekutukanNya, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa 
Ramadhan. Dan inilah yang dimaksud dengan rukun Islam.sedangkan Ihsan 
adalah ketika kita menyembahNya dengan seolah-olah kita melihatNya, atau
 jika tidak mampu melihatNya maka kita telah merasa dilihat olehNya.
Hubungan antara ketiganya bisa dikatakan tidak boleh dipisah. Sebab 
seorang yang Muslim tidaklah disebut Muslim jika tidak ada iman di 
hatinya. Dan orang yang beriman tidaklah sempurna imannya tanpa 
melakukan rukun-rukun Islam. Sedangkan ihsan adalah cara bagaimana 
mengamalkan iman dan islam. Maka ketiganya memang saling melengkapi dan 
tidak bisa ditinggalkan salah satu, salah dua apalagi ketiganya.
Lalu apa hubungan antara Iman dengan Qanaah? Sebelum mengetahui lebih 
lanjut tentang hubungan antara keduanya, ada baiknya kita ketahui lebih 
dahulu pengertian Qanaah.
Definisi Qana’ah 
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ 
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ عَنْ بُرْدِ بْنِ سِنَانٍ
 عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ 
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا 
هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ 
أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ
مُؤْمِنًا وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ 
جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ 
الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ ]رواه ابن ماجه[
Artinya: “ dari Abu Huraira berkata, Rasulullah telah bersabda: “hai 
Abu Hurairah Jadilah engkau wira’i, maka engkau akan menjadi orang yang 
paling berbakti (ibadat), dan jadilah engkau qana’ah, niscaya engkau 
menjadi orang paling bersyukur, dan cintailah manusia sebagaimana engkau
 mencintai dirimu, engkau akan menjadi mkmin, dan perbaikilah kehidupan 
bertetangga orang yang menjadi tetanggamu, engkau akan menjadi muslim, 
jadilah orang yang sedikit tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan
 hati.” (HR. Ibn Majah)
Qanaah tidak lain adalah bersikap ikhlas dan bisa menerima apa yang ada.
 Sikap qanaah selalu identik dengan bisa mensyukuri nikmat yang Allah 
berikan kepadanya, sekecil apapun rejeki yang diterimanya. Qanaah 
menyuruh manusia untuk bersabar dalam menerima ketentuan Illahi jika 
ketentuan itu menyedihkan dan menyuruh manusia untuk bersyukur jika 
ketentuan itu berupa kenikmatan yang menyenangkan.   Manusia harus ingat
 bahwa yang menentukan segala sesuatu atasnya adalah Dzat yang menguasai
 seluruh kehidupan.
Akan tetapi, Qanaah bukan berarti menyerahkan sepenuhnya kepada Allah 
lalu menunggu rejeki turun begitu saja. Namun dalam sikap qanaah manusia
 masih harus dituntut untuk selalu berikhtiar dan berikhtiar. Karena 
kebahagian tidak sepenuhnya disebabkan berlimpahnya materi, kebahagiaan 
datang dari hati dengan bersikap qanaah, selalu bersyukur dan tidak 
silau dengan kemewahan duniawi. 
Hadits Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Nabi telah bersabda: " Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta yang dimiliki namun kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati " .(HR Bukhari dan Muslim)
Disebutkan dari riwayat Al-Miswar bin Syaddad, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
ما الدنيا في الاخرة الا كمثل ما يجعل احدكم اصبعه في اليم فلينظر بما ترجع رواه مسلم والترمذي وابن ماجاه
Artinya: “dunia itu dibanding akhirat tidak lain hanyalah seperti 
jika seseorang di antara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka 
hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia 
menariknya kembali.”
Allah pun berfirman: "….dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)
Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah
 permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah 
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, 
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian 
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian 
menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan 
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain 
hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Artinya: “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling 
dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. 
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang
 paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah 
yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Najm: 29-30).
Orang-orang yang qanaah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, 
namun semua itu bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang 
dimilikinya ia sikapi dengan rambu-rambu Allah SWT, sehingga apa pun 
yang dimilikinya tidak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha 
Pemberi Rezeki. Mereka tahu kapan waktunya beribadah kepada Allah, 
seperti shalat, puasa dan lain-lain, dan kapan watunya beribadah, sebab 
mereka tahu perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mereka.
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
 muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak 
supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10). 
Qana’ah Obat Penyakit-Penyakit Hati
Qanaah merupakan obat dari penyakit-penyakit hati seperti rakus, tamak, 
putus asa, malas, sombong, dan kikir / bakhil. Sebab dengan qanaah, 
manusia akan selalu merasa puas dengan apa yang sekedar dibutuhkan.Ia 
tidak akan tamak terhadap yang dimiliki oleh orang lain, tidak melihat 
apa yang ada di tangan mereka, dan tidak menjadi rakus mencari harta 
benda dengan menghalalkan cara apa pun.
Abu hazim berkata, “tiga perkara siapa yang berada di dalamnya, maka 
sempurnalah akalnya: orang yang mengenal siapa dirinya, menjaga 
lidahnya, dan puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT.”
Seorang bijak berkata, “Engkau adalah orang yang mulia selagi engkau 
berselimut kepuasan diri.” Dan ada juga pepatah yag menyatakan, “Tamak 
itu menghinakan seorang pemimpin dan putus asa bisa meninggikan orang 
miskin.”[5]
Orang yang qana’ah juga akan selalu suka mendermawankan hartanya, murah 
hati, dan mau menafkannya untuk orang yan membutuhkan, sebab ia tahu 
bahwa semua harta yang diperolehnya adalah berasal dari Tuhannya, Allah 
SWT. Orang yang kesusahan berhak akan hartanya. Hartanya hanyalah sebuah
 titipan dari-Nya. Bila sikap dermawan ini mulai mekar dalam pribadi 
seseorang, maka hal itu berarti suatu gejala terlepasnya sikap bakhil. 
Dan jaminan keberuntungan orang yang terlepas dari penyakit kikir atau 
bakhil, dikemukakan Allah dalam Al-Quran: Artinya: “….dan siapa yang 
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang 
beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9) [6]
Salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tenteram adalah 
terpedayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang 
terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang 
dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang 
mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang 
Maha Pemberi Rezeki. Ia akan takabbur atau sombong, sedangkang sombong 
termasuk sikap mental yang buruk dan tercela. Sikap tersebut adalah 
memandang rendah orang lain, sementara memandang tinggi dan mulia diri 
sendiri.[7] Sikap ini menyebabkan kerugian hidup di dunia juga di 
akhirat. Di dunia ia akan jauh dari orang-orang sekitarnya karena sudah 
pasti banyak orang yang tidak suka dengan sifat sombongnya. Sedangkan di
 akhirat, sifat ini bisa menghalangi orang masuk surga. Seperti yang 
dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW:
لايدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر رواه مسلم
Artinya: “Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar zarrah.”
Lain halnya jika orang tersebut telah “akrab” dengan sifat qana’ah, ia 
merasakan kecukupan dan kepuasan atas harta dan dunia miliknya. 
Ketenteraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan 
yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta 
yang dimilikinya. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang qana’ah.
Orang yang qana’ah juga akan terhindar dari sifat malas apalagi putus 
asa. Sebab orang-orang yang memiliki sikap qanaah tidak berarti fatalis 
menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang qanaah hidupnya 
senantiasa bersyukur. Makan dengan garam akan terasa nikmat tiada tara, 
karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang mungkin tidak akan 
pernah “mengunjungi” perutnya. Jika pun ada daging, ia pun akan sangat 
bersyukur lalu dengan senang hati akan berbagi dengan orang lain.
Semua hal yang telah ada dan terjadi pada orang yang qana’ah akan terasa
 nyaman dan indah. Ia tidak akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah 
ditetapkanNya pada hidupnya, sebab ia tahu masih banyak orang yang lebih
 tidak beruntung darinya.
اانظروا الى من هو اسفل منكم ولا تنظروا الى من هو فوقكم فانه اجدر ان لا تزدادوا نعمة الله عليكم  رواه مسلم و الترمذي
Artinya: “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat 
orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi 
kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada 
kalian.”
Korelasi Iman Dengan Qana’ah 
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ 
حَدَّثَنَا حَيْوَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ أَنَّ أَبَا عَلِيٍّ 
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
 اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ 
إِلَى الْإِسْلَامِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعَ
Artinya: “Beruntunglah orang yang diberi petunjuk kepada Islam dan kehidupannya tercukupi dan ia puas.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan jalur sanad yang semuanya
 termasuk tsiqah. Hal ini menjadikan hadits ini shahih, meski takhrij 
atau yang meriwayatkan dari jalur lain cuma ada satu, yakni periwayatan 
Al-Turmudzi:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الدُّورِيُّ 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ أَخْبَرَنَا حَيْوَةُ 
بْنُ شُرَيْحٍ أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ أَنَّ أَبَا 
عَلِيٍّ عَمْرَو بْنَ مَالِكٍ الْجَنْبِيَّ أَخْبَرَهُ عَنْ فَضَالَةَ بْنِ
 عُبَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ يَقُولُ طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ وَكَانَ 
عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعَ قَالَ وَأَبُو هَانِئٍ اسْمُهُ حُمَيْدُ بْنُ 
هَانِئٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ 
Kontekstualisasi Hadits 
Hadits di atas, setelah menyebutkan bahwa keberuntungan adalah milik 
orang yang telah mendapatkan hidayah dari Allah berupa Islam, kemudian 
disertai dengan orang yang hidupnya hanya sekedar tercukupi, tidak 
berlebih, dan ia puas. Ini menunjukkan ada hubungan antara orang yang 
Islam (mencakup trilogi agama: Iman, Islam, dan Ihsan).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa orang yang beragama Islam 
harus mempunyai Iman, Islam, dan Ihsan. Maka dia harus mengimani apa-apa
 yang harus diimani sebagai muslim dengan menjalankan syariat Islam 
secara Ihsan. Jika Tuhan memerintahkan “ini”, maka ia akan 
melaksanakannya dengan sepenuh hati, sebab ia percaya akan kebenaran 
perintah Tuhan yang termaktub dalam kitab suci-Nya atau ada pada 
sunnah-sunnah utusan-Nya sebagai petunjuk untuk kehidupannya.
Qana’ah adalah salah satu dari perintah atau petunjuk-Nya untuk kebaikan
 kehidupan hamba-hambaNya. Maka sebagai hambaNya, sudah seharusnya untuk
 menjalankan perintahNya. 
Dalam kitab-Nya disebutkan: “benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik.  Dan Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezki.” [QS. Al-Hajj: 58]
Menurut sebagian penafsir, bahwa yang dimaksud dengan rizki yang baik adalah qana’ah.[8] Juga dalam ayat:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ 
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً 
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun 
perempuan, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami karuniakan 
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan 
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka 
lakukan." [QS. An-Nahl: 97]
Yang dimaksud dengan حَيَاةً طَيِّبَةً pada ayat di atas, mesurut 
sebagian ahli tafsir adalah qana’ah. Orang yang beriman jelas akan mau 
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia juga akan 
beribadah dengan ikhlas semata-mata hanya karena Allah. Maka untuk 
membalas amal yang telah dilakukan oleh hamba-Nya tersebut, Allah 
memberi nikmat berupa حَيَاةً طَيِّبَةً yang berarti qanaah.
Karena dengan qana’ah, orang akan selalu bahagia dalam keadaan apapun. 
Baik miskin atau kaya ia akan selalu merasa tercukupi dan puas dengan 
apa yang ada. Qana’ah merupakan pemberian Allah SWT yang sangat 
berharga, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
القناعة كنز لا يفنى
Artinya: “Qana’ah merupakan kekayaan yang tiada pernah sirna.”[9] 
Dalam kitab Zabur difirmankan: “Orang yang qana’ah adalah orang kaya 
walaupun ia lapar”. Allah SWT menjadikan lima perkara dalam lima tempat:
Kemuliaan dalam taat,
Kehinaan dalam maksiat,
Kharisma dalam sahalat malam,
Hikmah dalam batin yang sunyi, dan
Kaya dalam qana’ah.[10]
Orang yang beriman dan melakukan amal shalih menghadapi keberuntungan 
dengan rasa syukur dan sikap yang membuktikan kesungguhan syukur itu. 
jika menghadapi bencana maka ia akan bersabar dan berperilaku yang 
membuktikan kesungguhan kesabaran itu. Dengan demikian, hal itu dapat 
membuahkan di hatinya kesenangan kegembiraan dan hilangnya kegundahan, 
kesedihan, kegelisahan, kesempitan dada dan kesengsaraan hidup. 
Selanjutnya, kehidupan bahagia akan benar-benar menjadi realita baginya 
di dunia ini. Dan itulah qana’ah yang tumbuh dalam hati seseorang sebab 
kuatnya kadar imannya.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي 
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ عَنْ سَعِيدِ 
بْنِ أَبِي أَيُّوبَ حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ وَهُوَ ابْنُ شَرِيكٍ عَنْ 
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو 
بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ 
بِمَا آتَاهُ(رواه مسلم و التترمذي و احمد)
Artinya: “Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahkan rizki
 yang sekedar mencukupinya dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa 
yang diberikan kepadanya.”
Sedangkan orang yang di hatinya tidak ada seberkas iman, menghadapi 
kesenangan hidup dengan kecongkakan, kesombongan dan sikap melampui 
batas. Lalu, melencenglah moralnya. Ia menyambut kesenangan hidup 
seperti halnya binatang yang menyambut kesenangan dengan serakah dan 
rakus. Seiring itu, hatinya tidak tenteram. Hatinya kacau balau sebab 
dilanda oleh rasa cemas dan khawatiran terhadap sirnanya segala 
kesenangan. Ia terus gandrung kepada keinginan-keinginan lain, yang 
kadangkala dapat terwujud dan kadangkala tidak dapat terwujud. Jika 
tidak dapat terwujud, maka hal itu ia anggap sebagai cobaan yang sangat 
berat. Ia pun menyambut cobaan yang sulit dengan rasa gelisah, keluh 
kesah, khawatir dan gusar. Akibatnya, hidupnya dipenuhi dengan kesedihan
 dan kesedihan. 
Penutup
Dengan Iman, hidup di dunia akan terasa lebih berharga, bahagia dan 
nyaman sebab iman menjadikan manusia berbuat kebaikan. Iman membuat 
orang sabar, tahan uji dalam kesulitan dan bersyukur pada saat lapang. 
Iman juga membuat kita merasa berkecukupan akan semua yang ada. Dari 
sini, Qana’ah tidak bisa lari dari Iman, sebab iman adalah penyebab 
timbulnya qana’ah. Ia merupakan suatu sikap tentang rasa kepuasan 
menerima segala hal yang ada. Semakin kuat kadar iman seseorang, semakin
 puas pula ia akan ketetapan Sang Khaliq terhadapnya.
Qanaah merupakan obat dari penyakit-penyakit hati seperti rakus, tamak, 
putus asa, malas, sombong, dan kikir / bakhil. Sebab dengan qanaah, 
manusia akan selalu merasa puas dengan apa yang sekedar  ia butuhkan. 
Maka dalam kamus hidup si empunya sifat Qana’ah, tidak akan yang namanya
 “kekurangan atau kemiskinan”.
Pandangan ia terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau materi selalu 
didasari dengan keyakinan bahwa sesungguhnya kekayaan duniawi adalah 
lahan ujian dan cobaan. Semua adalah milikNya. Maka ia tidak akan 
sombong apalagi bakhil dengan sesuatu yang bukan merupakan miliknya.
Pada intinya, jika seseorang mengaku ia beriman, ia akan selalu 
mempraktekkan cara hidup yang qana’ah. Sebaliknya, seseorang yang rakus,
 bebas dari qana’ah, imannya tidaklah merupakan iman yang sempurna.
Akhirnya, dengan kesadaran akan banyaknya kekurangan pemakalah, 
khususnya dalam pembuatan makalah ini, pemakalah pun sangat membuka 
saran dan kritik dari siapapun yang membaca tulisan ini, guna perbaikan 
tulisan-tulisan yang akan datang. Maka, kurang lebihnya pemakalah mohon 
maaf dan terimakasih sebanyak-banyaknya.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. 2003. Al-Janib al-Athifi min al-Islam: Bahts fi al-Khulq wa 
al-Suluk wa al-Tashawwuf yang diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, 
Selalu Melibatkan Allah Jakarta: Serambi,
                                    1995. Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi 
terjemahan Mohammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti,
Ibnu Qudamah. 2007. Mukhtashar Minhajul Qashidin terjemahan Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Kautsar,
Chirzin, Muhammad. 1997. Konsep dan Hikmah Akidah Islam. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 
Ya’qub, Hamzah. 1980. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min. Surabaya: Bina Ilmu.




0 on: "Menumbuhkan Sifat Qana'ah Dalam Kehidupan Orang Yang Beriman"