Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 991 (Hadis berkualitas hasan)[1]
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ
خَلَفٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ
مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ
وَالْآخَرُ النَّكِيرُ فَيَقُولَانِ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا
الرَّجُلِ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ فَيَقُولَانِ قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا
ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ ثُمَّ
يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ نَمْ فَيَقُولُ أَرْجِعُ إِلَى
أَهْلِي فَأُخْبِرُهُمْ فَيَقُولَانِ نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ الَّذِي
لَا يُوقِظُهُ إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ
مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مُنَافِقًا قَالَ سَمِعْتُ النَّاسَ
يَقُولُونَ فَقُلْتُ مِثْلَهُ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ قَدْ كُنَّا
نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ فَيُقَالُ لِلْأَرْضِ الْتَئِمِي عَلَيْهِ
فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ فَتَخْتَلِفُ فِيهَا أَضْلَاعُهُ فَلَا يَزَالُ
فِيهَا مُعَذَّبًا حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ وَفِي
الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ
وَالْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ وَأَبِي أَيُّوبَ وَأَنَسٍ وَجَابِرٍ
وَعَائِشَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ كُلُّهُمْ رَوَوْا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Petik Hikmah - Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: “Bersabda Nabi SAW: Apabila
meninggal seorang hamba maka datanglah dua orang malaikat, salah satunya
bernama Munkar, dan yang lainnya bernama Nakir. Kedua malaikat itu
bertanya: Apa yang dapat engkau katakan mengenai Muhammad SAW? Apabila
yang ditanya adalah orang mu’min, ia akan menjawab: Beliau adalah hamba
dan rasul Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan
Muhammad adalah rasul-Nya. Malaikat tersebut berkata: Sekarang kami
telah mengerti akan apa yang engkau katakan. Setelah itu, dilapangkanlah
kuburnya seluas tujuh puluh hasta dan diterangi dengan nur. Dikatakan
kepadanya: Sekarang tidurlah engkau. Mayat tersebut memohon: Doakanlah
agar aku dapat kembali pada keluargaku untuk mengabarkan kesenangan ini.
Sang malaikat menjawab: Tidurlah! Maka tidurlah ia laksana tidurnya
para pengantin, tak pernah bangun kecuali jika ia ingin menemui
keluarganya. Demikian yang berlangsung hingga hari kebangkitan. Adapun
orang munafik, jika ia ditanya demikian ia menjawab: Aku tak tahu. Aku
hanya mendengar orang lain mengatakan sesuatu tentang dia (Muhammad),
lantas aku katakan pula apa yang orang katakan tentangnya itu. Malaikat
berkata: Sekarang kami telah mengerti akan apa yang kamu katakan.
Setelah itu sang malaikat berujar pada bumi: Jepitlah manusia ini
olehmu! Lantas dijepitnya hingga berserakan tulang rusuknya. Dan ia
senantiasa diazab, disiksa sampai ia dibangkitkan dari kuburnya nanti di
hari akhir.”
Dalam riwayat lain dari Abu Qatadah, diceriterakan bahwa: sesungguhnya
jika seorang mu’min meninggal, dia akan didudukkan di dalam kuburnya,
lalu ditanyakan padanya: Siapa Tuhanmu?” “Allah”, jawabnya. Ditanyakan
lagi,” Siapa Nabimu?” “Muhammad ibn ‘Abdillah”, sahutnya. Hal itu
ditanyakan padanya sebanyak tiga kali. Kemudian dibukakan baginya pintu
menuju neraka dan dikatakan padanya,” Lihatlah ke tempat tinggalmu
jikalau saja engkau menyimpang dari kehendak-Nya.” Setelah itu,
dibukakan pintu surga dan dikatakan kepadanya,” Lihatlah tempat
tinggalmu di surga, karena engkau teguh meyakini-Nya.”
Jika seorang kafir meninggal, dia akan didudukkan di dalam kuburnya,
kemudian ditanyakan kepadanya,” Siapakah Tuhanmu? Siapakah Nabimu?” “Aku
tidak tahu... Aku memang pernah mendengar orang-orang mengatakan
sesuatu,” jawabnya. Lalu dikatakan padanya,” Kamu memang benar-benar
tidak tahu!” Setelah itu, dibukakan pintu surga dan dikatakan, ”Lihat ke
tempat tinggalmu itu seandainya kamu benar-benar teguh beriman.” Lalu
dibukakan baginya pintu neraka dan dikatakan, ”Lihat ke tempatmu karena
kamu menyimpang”.[2] (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, Al-Thabrani dan
Ibn Mundah)
Dalam riwayat lain yang sedikit berbeda, yakni yang diungkapkan oleh
Al-‘Ajiri dalam Al-Syari’ah, diriwayatkan dari Ibn Mas’ud: Jika seorang
hamba telah meninggal dan diletakkan dalam kubur, Allah mengutus
kepadanya dua malaikat untuk menghardik dan bertanya, “Siapa Tuhanmu?”
“Allah Tuhanku”, jawabnya. “Apa agamamu?” tanyanya lagi. Jawabnya,
“Islam agamaku”. “Lalu, siapa Nabimu?”. Dia menjawab,” Muhammad Nabiku”.
Kemudian keduanya mengatakan, “Engkau benar. Berikanlah kepadanya
tempat tidur dari surga, pakaian dari surga, dan perlihatkan tempatnya
di surga.”
Adapun jika orang kafir yang meninggal, ia akan dipukul dengan pukulan
yang bisa membuat kuburannya menyala. Malaikat juga menyempitkan
kuburnya hingga tulang rusuknya tercerai-berai dan berserakan, dan
dibangkitkan untuknya ular-ular kuburan.[3]
Dari tiga cuplikan hadis di atas mengenai pertanyaan malaikat pada si
mayit di dalam kuburnya, kita sadari bahwa “proses” tanya-jawab antara
manusia dengan malaikat tidaklah sama satu dengan lainnya. Tiap-tiap
riwayat menampakkan perbedaan dalam menyebutkan cara pengajuan
pertanyaan dan pemberian jawaban, meskimemang tidak terlalu berbeda
jauh. Selain itu, dalam riwayat lain (tidak saya sebutkan dalam makalah
ini) dikisahkan bahwa hanya ada satu sosok malaikat yang menanyai si
mayit. Hal ini bukan berarti hadis-hadis tersebut saling bertentangan,
akan tetapi karena perbedaan “perlakuan” pada tiap-tiap orang saja.
Kemungkinan, orang yang didatangi oleh satu malaikat atau hanya
diberikan pertanyaan yang lebih ringan dan sedikit, merupakan suatu
keringanan baginya, karena amal shalih yang dikerjakannya. Atau,
kemunhgkinan kedua, bisa saja salah satu dari riwayat tersebut merupakan
ringkasan dari riwayat lainnya, sehingga tidak mencantumkan keseluruhan
kisah. Akan tetapi, memang masuk di akal jikalau Allah memberikan
perlakuan yang berbeda-beda pada setiap orang, karena semua tergantung
amalan-amalan yang telah diperbuatnya di dunia dahulu.
Fenomena Siksa Kubur: Nyatakah?
حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ قَالَ وَقَالَ لِي خَلِيفَةُ حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ
أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ
مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا
الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ
أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ
مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا
وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ
أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ
يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ
صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
Diriwayatkan dari Anas r.a.: “Bersabda Nabi SAW: Apabila manusia telah
dibaringkan dalam kuburnya, dan sahabat (yang mengantarkan) telah
pulang, sampai ia mendengar derap sepatu mereka, maka datanglah dua
orang malaikat menemuinya. Kedua malaikat itu mendudukkannya, lalu
bertanya kepadanya: Apa yang dapat engkau katakan mengenai Muhammad SAW?
maka adapun orang mu’min akan menjawab: Saya bersaksi bahwa Beliau
adalah hamba dan rasul Allah. Maka dikatakanlah kepadanya: Lihatlah
tempat tinggalmu dari neraka, sesungguhnya Allah telah menggantinya
untukmu dengan surga. Maka ia diperlihatkan pada keduanya. Setelah itu,
dilapangkanlah kuburnya seluas tujuh puluh hasta dan penuh berisi
tanaman segar sampai hari ia dibangkitkan. Adapun orang munafik, jika ia
ditanya demikian ia menjawab: Aku sama sekali tak tahu. Aku hanya
mengatakan sesuatu yang diucapkan orang mengenai dirinya. Malaikat
berkata: Engkau tidak tahu! Engkau tidak membaca! Kemudian dipukulkanlah
martil yang rebuat dari besi dengan pukulan yang menimpa antara kedua
telinganya. Ia pun berteriak dengan teriakan yang didengar oleh orang
yang mengiringinya tanpa membebaninya, dan disempitkan kuburnya sampai
beradu tulang-tulang rusuknya.”
Mengenai latar belakang munculnya hadis di atas, dikisahkan dalam Sunan
Abu Daud bahwa Rasulullah SAW suatu ketika pernah memasuki kebun kurma
kepunyaan Bani Najar. Tiba-tiba beliau mendengar suara yang mengagetkan,
sehingga beliau bertanya pada orang-orang yang mengiringinya, “Siapa
saja orang yang dikubur disini?” mereka menjawab,”Wahai Rasulullah,
mereka adalah orang-orang yang dikubur pada masa jahiliyah.” Beliau
bersabda: Kita memohon perlindungan Allah dari siksa kubur dan dari
fitnah dajjal.” Mereka bertanya,”Mengapa demikian Ya Rasulullah?” Beliau
menjawab seperti bunyi hadis yang menerangkan adanya siksa dan nikmat
kubur di atas.[4]
Meski kita tidak dapat mengetahui kejadian di alam kubur, telah jelas
dipaparkan dalam hadis di atas, bahwa setelah manusia meninggal dan
disemayamkan dalam kubur, ia akan didatangi oleh malaikat yang akan
mengajukan beberapa pertanyaan. Jikalau ia mu’min lagi shalih, niscaya
ia akan mudah menjawab dan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan di alam
kubur kelak. Sebaliknya, jika ia kafir atau zalim, maka ia akan
kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan kelak akan
menerima siksa yang teramat pedih.
Perlu dicatat, hadis terkait siksa kubur di atas, rawi-rawi yang
meriwayatkannya, meski tidak mencapai tingkatan shahih, mereka masih
patut menyandang predikat hasan. Kemuttashilannya pada Rasulullah SAW
juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka, “siksa kubur” merupakan suatu
fenomena yang memiliki landasan yang kuat dari hadis Nabi. Meski
begitu, masih terdapat orang-orang dari kelompok Materialisme
(Naturalisme) juga Mu’tazilah yang menilai hadis tersebut musykil dari
sisi logika serta nalar manusia. Menurut mereka, orang yang telah mati
tak ubahnya seperti bangkai lain, tenang, tak bergerak, serta tidak
memiliki rasa dan perasaan. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang seperti
itu dapat menerima atau bahkan merasakan siksaan? Bagaimana mungkin ia
dan bertanya-jawab atau duduk bersama malaikat? Mengapa agama Islam,
sebagai agama akal, dapat bertentangan dengan akal, dunia nyata, dan
intuisi?
Dalam diskursus pemikiran kelompok Naturalis, kematian dipandang sebagai
proses perjalanan akhir dari kehidupan. Dengan menggunakan rasio dan
indera manusia sebagai tolok ukurnya, kematian merupakan wujud dari yang
tak berwujud (being of nothingness)[5], artinya wujud mati merupakan
hakikat yang sebenarnya dari ketidakwujudan atau ketiadaan. Karenanya,
“mati” bersifat tidak eksis, hampa, kosong, dan semacamnya, sedang
“hidup” bersifat eksis, ada, dan dapat dirasakan. Eksistensi manusia dan
dirasakan karena adanya jiwa dan raga dalam diri manusia yang memiliki
potensi “merasakan” kehidupan. Hal ini tak dapat dijumpai jika jiwa dan
raga manusia yang sebenarnya sudah tidak ada karena ia sudah mati, tak
eksis. Maka, bertolak dari pemikiran semacam ini, kelompok Naturalis
menolak paham “hidup setelah mati”, karena proses peralihan dari “ada”
menuju “tidak ada”, dari “eksis” menuju “non-eksis”.
Mencoba menanggapi hal di atas, sebenarnya matinya manusia tidak menjadi
penghalang baginya untuk mendapatkan siksa, kenikmatan, kesengsaraan
ataupun kebahagiaan. Meski hal tersebut tidak dapat disaksikan oleh
indera dan tidak dapat diterima oleh nalar manusia, bukan lantas
menjadikan hal tersebut sesuatu yang tidak ada. Sebagai contoh, ruh.
Jika manusia tidak dapat melihat ruh, bukan berarti ia tidak ada dalam
kenyataan. Maka, jika manusia tidak dapat melihat siksa ataupun nikmat
kubur, bukan berarti itu tidak ada. Atau, kita dapat membayangkan bahwa
orang yang mati layaknya orang yang sedang tidur, yang dalam tidurnya ia
dapat mengalami berbagai macam hal, sebagaimana orang yang sadar. Jika
kita lihat, orang yang sedang tidur itu terlihat tenang, tak bergerak,
tak terusik, tak melakukan apapun, tetap membujur kaku. Maka orang
matipun dapat kita analogikan seperti itu. Di alam barzakh, ia akan
mengalami hal yang seperti itu, maksudnya meski jasadnya tak tergerak,
ruhnya masih tetap dapat merasakan nikmat, siksaan, bahagia, sengsara,
maupun kejadian lainnya.
Kalangan Ahlussunnah memiliki pandangan sendiri. Menurut mereka, siksa
kubur dilakukan terhadap jasad itu sendiri setelah ruhnya dikembalikan
lagi oleh Allah ke jasadnya, dengan kemahakuasaan-Nya, sekalipun
jenazahnya sudah hangus atau habis dimakan oleh ulat dan cacing.[6]
Lain halnya dengan argumen yang digunakan Bediuzzaman Said Nursi untuk
menanggapi pandangan kaum Naturalis tersebut. Sederhananya, ia
berpendapat bahwa kematian adalah peralihan dari eksistensi dunia hidup
(‘alam al-dunya) menuju eksistensi dunia lain (‘alam al-barzakh),[7]
yang keduanya diciptakan Allah. Karena dunia tersebut (barzakh)
merupakan sesuatu yang eksis, ada, maka eksistensi kematianpun akan
terus berlanjut menuju proses perjalanan akhir kehidupan, yakni akhirat,
melalui hari kebangkitan (kiamat).
0 on: "Pemaknaan Hadis Fitnah Kubur dan Pertanyaan Malaikat "