Namun, kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ
bukanlah sesuatu yang bebas ekspresi. Tetap ada aturan yang indah dan
elegan. Tidak boleh berlebihan dan juga menyepelekan. Tidak boleh
mengada-ada. Karena beliau begitu mulia untuk dipuja dengan sesuatu yang
bukan dari ajarannya.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ
أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 69).
Imam al-Baghawi rahimahullah dalam
tafsirnya mengatakan, “Ayat ini turun terkait dengan kisah Tsauban bin
Bujdad radhiallahu ‘anhu bekas budak Rasulullah ﷺ. Ia sangat mencintai
Nabi ﷺ. Suatu hari ia menemui Nabi ﷺ, rona wajahnya berbeda. Menyiratkan
kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh.
Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apa yang membuat raut wajahmu berbeda (dari biasa)’?
‘Aku tidak sedang sakit atau kurang enak badan.
Aku hanya berpikir, jika tak melihatmu, aku sangat takut berpisah
denganmu. Perasaan itu tetap ada, hingga aku melihatmu. Kemudian aku
teringat akhirat. Aku takut kalau aku tak berjumpa denganmu. Karena
engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan aku, seandainya masuk
surga, aku berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya aku
tidak masuk surga, maka aku takkan melihatmu selamanya’, kata Tsauban radhiallahu ‘anhu.
Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Mereka Yang Mencintai Nabi
Suatu hari, Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, sedang berkebun di perkebunannya. Kemudian anaknya datang, mengabarkan kalau Nabi ﷺ telah wafat. Ia berucap,
اللهم أذهب بصري تى لا أرى بعد حبيبي محمدًا أحدًا
“Ya Allah, hilangkanlah penglihatanku. Sehingga
aku tidak melihat seorang pun setelah kekasihku, Muhammad.” Ia katupkan
dua tapak tangannya ke wajah. Dan Allah ﷻ mengabulkan doanya (Syarah az-Zarqani ‘ala al-Mawahib ad-Diniyah bi al-Manhi al-Muhammadiyah, Juz: 8 Hal: 84).
Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para
sahabat melebihi memandang wajah Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Zaid ingin,
pandangan terakhirnya adalah wajah Nabi. Saat memejamkan mata, ia tak
ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin muncul wajah yang
mulia itu.
Bilal radhillahu ‘anhu, seorang
sahabat dari Habasyah. Muadzin Rasulullah ﷺ. Cintanya pada sang Nabi
terus bertumbuh hingga maut datang padanya. Sadar akan kehilangan Bilal,
keluarganya bersedih dan mengatakan, “Betapa besar musibah”!
Bilal menanggapi, “Betapa bahagia! Esok aku berjumpa dengan kekasih; Muhammad dan sahabat-sahabatnya.” (Rajulun Yatazawwaju al-Mar-ata walahu Ghairuha, No: 285)
Cinta sahabat Nabi telah membuat kita malu. Cinta mereka begitu tulus. Tak jarang cinta kita hanya mengaku-ngaku.
Al-Hawari, Abdullah bin Zubair. Apabila ada yang menyebut Nabi ﷺ di sisi Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu, ia menangis tersedu, hingga matanya tak mampu lagi meneteskan rindu dan kesedihan (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 402).
Demikian juga dengan sahabiyat (sahabat
wanita). Cinta mereka kepada Rasululllah ﷺ tak kalah hebatnya dari
sahabat laki-laki. Ada seorang wanita Anshar; ayah, suami, saudara
laki-lakinya gugur di medan Perang Uhud. Bayangkan! Bagaimana perasaan
seorang wanita kehilangan ayah, tempat ia mengadu. Kehilangan suami,
tulang punggung keluarga dan tempat berbagi. Dan saudara laki-laki yang
melindungi. Ditambah, ketiganya pergi secara bersamaan. Alangkah sedih
keadaannya.
Mendengar tiga orang kerabatnya gugur, sahabiyah ini bertanya, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah ﷺ”?
Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik.”
Wanita Anshar itu memuji Allah dan mengatakan, “Izinkan aku melihat beliau.” Saat melihatnya ia berucap,
كل مصيبة بعدك جلل يا رسول الله
“Semua musibah (selain yang menimpamu) adalah ringan, wahai Rasullah.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz: 3 Hal: 43).
Maksudnya apabila musibah itu menimpamu; kematian dll. Itulah musibah yang berat.
Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Taka da seorang pun yang lebih aku cintai melebih
Rasulullah. Dan tak ada seorang pun yang lebih mulia bagiku selain
dirinya. Aku tidak pernah menyorotkan penuh pandanganku padanya, karena
begitu menghormatinya. Sampai-sampai jika aku ditanya, tentang
perawakannya, aku tak mampu menggambarkannya. Karena mataku tak pernah
memandangnya dengan pandangan utuh.” (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman
No: 121).
Sebagaimana kita saksikan, seorang pengawal kerajaan menundukkan
wajahnya ketika berbicara dengan sang raja. Karena menghormati dan
memuliakan rajanya. Amr bin al-Ash lebih-lebih lagi dalam memuliakan dan
mengagungkan Nabi ﷺ.
Adakah pengagungan yang lebih hebat dan lebih luar biasa. Selain pengagungan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ terhadap beliau?
Cinta Nabi Harus Mencintai Sahabatnya
Mencintai Nabi ﷺ berkonsekuensi mencintai sahabatnya. Abdullah bin
al-Mubarak mengatakan, “Ada dua jalan, siapa yang berada di atasnya, ia
selamat. Ash-shidqu (jujur) dan mencintai sahabat Muhammad ﷺ.” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 413).
Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (tokoh tabi’in) mengatakan,
“Siapa yang mencintai Abu Bakar, ia telah menegakkan agama. Siapa yang
mencintai Umar, ia telah memperjelas tujuan. Siapa yang mencintai
Utsman, ia telah meminta penerangan dengan cahaya Allah. Dan siapa yang
mencintai Ali, ia telah mengambil tali yang kokoh. Siapa bagus sikapnya
terhadap sahabat Muhammad ﷺ, ia telah berlepas diri dari kemunafikan.
Siapa yang merendahkan salah seorang dari mereka, ia adalah seorang ahli
bid’ah yang menyelisihi Sunnah dan salaf ash-shaleh. Aku khawatir
amalnya tidak naik ke langit (tidak diterima), hingga ia mencintai semua
sahabat. Dan hatinya bersih terhadap mereka.” (ats-Tiqat oleh Ibnu Hibban No:680).
Mencintai Rasulullah ﷺ adalah kedudukan mulia. Umat Islam
berlomba-lomba mencintai beliau. Kecintaan kepada beliau menguatkan
hati. Gizi bagi ruh. Dan penyejuk jiwa. Mencintai beliau adalah cahaya.
Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mencintai Allah dan
Rasul-Nya.
Kita melihat orang-orang yang cinta nabi, mata
mereka berbinar bahagia. Jiwa mereka syahdu. Hati mereka tenang. Mereka
menikmati rasa cinta itu. mereka menjadi mulia di dunia dan berbahagia
di akhirat. Mereka tahu bagaimana rasa yang namanya bahagia itu. Keadaan
sebaliknya bagi mereka yang tidak mencintai Nabi. Mereka merasakan
kegundahan. Jiwa yang hampa. Perasaan yang sakit. Dan rugi.
Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah,
mengatakan, “Maksudnya adalah sekadar mana seseorang mengikuti Rasul.
Setingkat itu pula kadar kemuliaan dan pertolongan. Sebatas itu pula
kualitas hidayah, kemenangan, dan kesuksesan. Allah ﷻ memberi hubungan
sebab-akibat, kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan mengikuti
Nabi. Dia menjadikan kesengsaraan di dunia dan akhirat bagi yang
menyelisihi sang Nabi. Mengikutinya adalah petunjuk, keamanan,
kemenangan, kemuliaan, kecukupan, kenikmatan. Mengikutinya adalah
kekuasaan, teguh di atasnya, kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
Menyelisihinya adalah kehinaan, ketakutan, kesesatan, kesengsaraan di
dunia dan akhirat.”
Renungan
Setelah mengetahui bagaimana hebatnya cinta dan
pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah ﷺ, tentunya kita semakin
bersemangat untuk meneladani cara mereka mencintai Nabi. Cara yang tidak
berlebihan dan tidak menyepelekan. Cara mereka mencintai diridhai oleh
Nabi.
Mereka menangis, tidak berani menyorotkan pandangan, bahagia dengan
keselamatan beliau, dll. tapi mereka tak pernah melakukan perayaan
maulid Nabi yang dianggap bukti cinta padanya. Mereka tak pernah
merayakan suatu ‘amalan’ di hari kelahiran sang tauladan yang katanya
adalah pengagungan.
Apakah kita yang belajar dari mereka cara mencintai Nabi ataukah sebaliknya?
Demikianlah kita anak-anak akhir zaman. Sering
menyebut cinta, tapi kita tak tahu apa artinya mencintai. Akhirnya,
semakin marak perayaan, umat tak kunjung juga mengkaji hadits-hadits
Nabi. Lihatlah sekitar kita sebagai renungan dan bukti.[km]